Pendeta Marcus Dari Teminabuan
PENDETA MARCUS DARI TEMINABUAN
Oleh: Dr. At IpenburgPendeta Herbert Marcus bekerja didaerah Kepala Burung (Vogelkop) sebagai seorang Pendeta dan juga sebagai Penyelidik Sekolah. Isterinya bernama Ineke Markus -van der Nieuwenhuysen, bertugas juga di Tanah Papua, mula2 se-bagai dokter,dibidang Kesehatan umum,dari pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea. Kemudian sebagai Schoolarts-dokter khusus untuk persekolahan.
Wilayah kerja mereka berdua,tepatnya disekitar,daerah Kepala Burung;khususnya diTeminabuan dan di Ransiki. Pekerjaan mereka adalah sebagai kaum perintis dan Penyebar Agama Kristen,didaerah-daerah yang lugu dan tidak seberapa tersentuh oleh dunia luar ; Luas daerah ini sekitar 8000 km2 dan mempunyai penduduk sekitar 30.000 orang. Perhubungan keluar dan masuk kedaerah ini kala itu hanyalah melalui jalanan kaki.
LATAR BELAKANG
Setelah Indonesia Merdeka ditahun 1949, baru ada timbul kesadaran dipihak Zending van Nederlandse Hervormde Kerk (ZNHK) untuk berbagi beban usaha Pekabaran Injil di Tanah Papua dengan Badan-Badan Gereja lain, misalnya dengan Gereja Mennonit (Doopsgezinden). Akan tetapi masih tetap selalu memegang persyaratan tertentu: "Bahwa Gereja Mnnonit tidak diperboleh mendirikan satu Badan induk Gereja sendiri di Tanah Papua melainkan akan menjadi bahagian yang tak terpisahkan dalam satu Persekutuan Badan Gereja Kristen, yang bakal didirikan nanti — Gereja Kristen Injili (GKI). Meskipun berstatus otonom, akan tetap taluk dibawah kewibawaan beleid dari Hervormde Terreinleider (Pimpinan Daerah Zending) dan Algemene School Beheerder (Administrator Pengawasan Persekolahan Umum atau ASB) dari Gereja Hervormd di Hollandia.
Pendeta Herbert Marcus lahir di tahun 1915 di kota Hamburg di Jerman. Ayahnya berasal dari Jerman dan ibunya adalah seorang warga Belanda, bernama Cornelia Poortman. Herbert dan orang tuahnya berangkat dalam tahun 1923 ke Hindia Belanda, karena ayahnya mendapat pekerjaan pada sebuah perusahaan milik iparnya, di Surabaya. Perceraian orang tuanya di tahun 1927, pulanglah Herbert dan ibunya terpaksa kembali ke Tanah Belanda. Di Belanda Herbert bersekolah di Kennemer Lyceum di Overveen dan setelah selesai belajar di Analysten School (Sekolah Ahli Kimia) di kota Leiden. Di Leiden, Herbert menumpang (indekos) di dalam rumahnya dan dengan keluarga Pendeta Lykele Bonga dari Gereja Mennonit (Doopsgezind). Herbert lalu seegra menyesuaikan dirinya, dapat dibaptiskan dalam Gereja itu dan menjadi anggota jemaat Mennonit.
Beberapa tahun sudah berlalu dan ia tetap bekerja sebagai juru kimia (analis). Pada tahun 1937 ia dapat berkenalan dengan Mieneke van den Nieuwenhuyzen, berasal dari kota Den Helder, belajar pada jurusan ke-dokteran, juga di kota Leiden.
Perang Dunia ke-Dua pecah dan Tanah Belanda sementara diduduki tentara Jerman. Dalam bulan Mel 1940, Herbert, yang berwarga negara Jerman itu, terjerat wajib militer. la dipertugaskan sebagai prajurit infanteri dalam Angkatan Bersenjata Jerman, yang menduduki di belantara benua Rusia,Ukraine dan di Elzas. Akhir Perang Dunia ke-Dua,beliau ditangkap dan dipenjarakan. Pada zaat itu, timbullah suatu kesadaran dihatinya, lalu bercitacita untuk menjadi seorang Utusan Zending ke Indonesia sebagai Penyebar Injil.
Cita-cita yang sama juga merupahkan idaman hati dari Mieneke. Demikian di tahun 19471949 beliau mengikuti pendidikan terbaru, Penyebar Agama (Zendeling), selama dua tahun pada Lembaga Gereja Kerk en Wereld, yang berazaskan masyarakat dengan dosen-dosen terkenal sepertinya Pdt Berkhof, Dr Boerwinkel dan Dr Banning. Setelah selesai beliau mengikuti pelajaran pada Sekolah Tinggi Pekabaran Injil (Zendingshogeschool) di Oegstgeest dalam pembinaan dari tuan Freek Kamma sebagai dosennya. Lalu mengambil keputusan memilih kawin dan diresmikan dengan upacara pada tanggal 11 mei 1949. Mereka berdua berangkat dari Amsterdam dan pada tanggal 1 juli 1950 menuju Hollandia, karena di sana Mieneke, isterinya, diteguhkan jabatan sebagai Gouvernmentsarts (dokter pemerintah) dengan berkedudukan di Ayamaru dan Inanwatan, yang juga adalah daerah tugas pelayanannya.
PERIODE 1950-1955
Setelah mengambil tempat tinggal di Inanwatan mereka melakukan sebuah kunjungan keliling didalam daerah kerjanya, agar dapat memperkenalkan diri dari dekat dan mendapat kesan tentang hal ikhwal dari 12 jemaat masing-masing dari Ayamaru dan Inanwatan, yang beranggotakan sekitar 3.000 orang dewasa. Mereka akhirnya memilih tinggal di Mefkajim. Dari sini mereka mengunjungi semua kampung-kampung yang terletak didalam distrik itu. Apa saja kesan mereka berdua? Banyak sekali permohonan masuk mengenai persekolahan dan pelajaran berbanding permohonan untuk menerima injil kurang. Dikampong Haha, yang berpenduduk 180 orang, pendeta Marcus dapat membaptis pada tanggal 13 Maret 1951, sebanyak 10 lelaki dan 10 wanita dewasa didalam satu Perjamuan Kudus dan Guru De Fretes sebanyak 25 murid-murid sekolah. Dalam rangka kunjungan keliling ini, juga dapat terbaptis sebanyak 167 orang dewasa. Demikian, giliran pembaptisan anak-anak kecil, lebih banyak dialihkan sebagai tugas dari guru-guru sekolah setempat.
Pada awal pertama perkembangan injil di-daerah-daerah ini, tiba-tiba timbulah suatu konfrontasi dengan Gereja Katolik. Khuwatir akan masuknya misi katolik ke daerah-daerah ini dan meluas ke distrik Aifat, pendeta Marcus tergesah-gesah melantik beberapa guru-guru sekolah dan menempatkannya di empat buah kampung di dalam distrik Aifat. Beliau juga punya niat untuk memperbaharui buku-buku pelajaran sekolah oleh karena buku-buku bacaan yang dipakai kebanyakkan berisi gambaran-gambaran tentang kehidupan sehari-hari di Indonesia, bukan menverminkan realitas kehidupan di Tanah Papua. Gambaran yang terdapat didalam buku-buku bacaan mengandung gambar-gambar kerbau dan harimau, binatang yang tidak terdapat di atas Tanah Papua. Niatnya agar dengan pelantaran stensil, supaya dapat dibuat buku-buku bacaan umum, agar nafsu untuk membaca dari banyak orang dapat terpenuhi. Sebagai seorang pendeta beliau juga punya rencana untuk menyusun sebuah Peraturan Gereja yang baru untuk wilayah kerjanya. Maksudnya agar seorang anggota jemaat harus bisa dapat diemban tanggung jawab mengenai khotbah, pastorat dan diakonat. Beliau pada dasarnya mempertunjukkan struktur demokratis dari Gereja Sinodal dengan maksud Pekerjaan Pekabaran lnjil harus dijadikan dasar dari budaya lokal dan pekerjaan Pemberitaan Injil harus bebas dan tidak terikat pada kebiasaan kristiani, akan tetapi memberitakan dasar-dasar pengertian dan tujuan dari Alkitab.
Beliau menyesal melihat perilaku guru-guru asal Maluku yang mempertontonkan perasaan paternalisme dan mencampur adukkan agama dengan adat dan kebiasaan sendiri. Disamping itu beliau tidak berkenan dengan perilaku sombong pada merendahkan martabat dan harga diri manusia Papua. Akan tetapi guru-guru dan para penginjil asal Ambon ada punya keberatan terhadap seorang pendeta Marcus. Mereka bilang: Pendeta Marcus pernah hadir didalam suatu kebaktian dalam Gereja dengan bercelana pendek, Pernah mengizinkan jemaat minum bir dan main musik krontjong didalam suatu perayaan Natal. Tetapi dalam kenyataan dia pernah mengatakan kepada seorang penginjil, bahwa cara berpakaian kegereja tidak menentukan mutu kepercayaan seseorang. Biarpun pakai cawat boleh berdiri di mimbar dan berkhotbah, karena yang penting adalah isinya dari khotbah, bukan pakaian seorang pendeta. Para penginjil akhirnya melaporkan menulis surat tajam mengenai sang pendeta,dan melaporkannya ke alamat Dewan Pekabaran Injil di Oegstgeest, di Negeri Belanda. Laporan ini dapat diterima oleh pendeta F. Slump, sebagai Sekretaris Dewan Zending. Beliau adalah juga bekas, yang menempati jabatan itu sebelumnya. Akhirnya datanglah pertanyaan-pertanyaan dari Dewan Zending Mennonit, tertuju kepada pendeta I. S. Kijne di Yoka "apakah pendeta Marcus bisa dapat dipertahankan? Beliau menjawab positif ! '
Selama masa jabatannya di Nieuw-Guinea, Pendeta Marcus mengangap dirinya terus menerus ditantang oleh kolega-koleganya dari Gereja Hervormd. Adalah benarnya, bahwa terdapat faktor kecurigaan diantara Gereja Hervormd dan Gereja Mennonit mengenai perbedaan faham, mengenai peran anggota jemaat dan juga mengenai cara-cara pelaksanaan pembaptisan. Dapatkah kelompok-kelompok yang ada pada zaat itu. Kebanyakkan guru-guru dan penginjil asal Maluku tidak menerima baik perubahan Acara Pembaptisan dalam gereja. Dikalangan Gereja Hervormd punya kebiasaan: Suatu Pembaptisan dapat diselenggarahkan atas permohonan jemaat. Dalam hal ini sudah berseberangan dengan kebiasaan di Gereja Mennonit. Jemaat Mennonit, terdiri dari orangorang dewasa yang menjadi anggota jemaat setelah diteguhkan dan dibaptiskan. Demikian sebuah jemaat Mennonit terdiri dari orang-orang dewasa yang telah dibaptiskan didalam nama Tuhan dan menjadi pengikutnya sebagai jemaat
1956 - 1960
Baca selengkapnya di academia.edu/AtIpenburg
Tulisan ini Tidak berniat Mengambil tulisan dari Dr. At Ipenburg tanpa izin tetapi bermaksud hanya untuk membagikannya kepada teman-teman yang ingin mengetahui sejarah penginjilan khusus di wilayah Maybrat dan Sorong Selatan. Teman-teman bisa membaca tulisan lengkap di link yang tersedia.
Posting Komentar